Marongge Sang Legenda
Wisata Ziarah Makam Keramat Marongge
Kota Sumedang merupakan sebuah kota kecil, yang berbatasan langsung dengan kota Bandung. Jaraknya dari pusat kota Bandung, lebih kurang 60 kilometer. Aksebilitas menuju kota ini sangat mudah. Jalanan lebar dan mulus menghubungkan Sumedang dengan kota - kota lainnya di seluruh Jawa Barat. Masyarakat sumedang di kenal sebagai masyarakat agraris, sejak jaman dahulu terkenal sebagai salah satu kota yang menjunjung tinggi kebudayaan sunda, berbagai peninggalan bersejarah bertebaran di wilayah kabupaten ini. Terutama dari masa Kerajaan Sumedang Larang.
Perjalanan kali ini,agak jauh dari pusat Kota Sumedang, tepatnya ke Desa Marongge Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang. Di tempat ini terdapat sebuah petilasan yang di kenal dengan nama makam Keramat Marongge. Lokasi wisata ziarah ini sangat asri, terletak di atas perbukitan dengan berbagai fasilitas pendukung yang lengkap. Biasanya para pengunjung harus lapor kepada para petugas sebelum melakukan wisata ziarah. Di sebuah perbukitan yang di namakan Gunung Hade terdapat beberapa peninggalan yang pertama ialah tempat petilasan Mbah Aji Putih Jaga Riksa, yang berupa batu berbentuk menhir dengan di tutupi kain putih, agak menanjak dari lokasi ini tepatnya di puncak bukit Gunung Hade, terdapat petilasan lainnya yang berupa meja batu, konon dahulu kala di sinilah tempat Mbah Gabug melakukan semedi. Pada saat sekarang petilasan ini kerap di gunakan oleh para peziarah yang bermunajat melakukan tirakat mengharap ridho Alloh swt.
Menurut sejarahnya makam Marongge, adalah makam Mbah Gabug dan tiga saudaranya bernama, Mbah Setayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah. Mereka ini merupakan bala tentara dari Mataram yang di utus oleh sultan mataram untuk menangkap raja dari kerajaan talaga. Konon menurut hikayat yang di sampaikan oleh Abah Dede dari dewan makam marongge, sang raja talaga di sebutkan telah melakukan penghinaan kepada sang sultan mataram.singkat cerita karena kesaktian nya sang raja talaga tidak berhasil di tangkap, bahkan keempat putri yang di utus beserta bala tentaranya takluk kepada sang raja talaga. Karena takut akan hukuman sultan mataram, kemudian mereka meminta izin untuk bermukim di sepanjang kali Cilutung. Saat ini keempat makam putri ini terletak di dalam sebuah bangunan permanen, para peziarah khusus nya perempuan biasanya melakukan tirakat serta tidur di kompleks makam ini.
Menurut kuncen yang mengantar kami, biasanya ada sebuah ritual khusus yang
di namakan kliwonan, biasanya di gelar setiap malam jumat kliwon. Prosesinya
sendiri di mulai tengah malam dengan memanjatkan doa - doa kepada sang khalik.
Setelah selesai para peserta ritual ada juga yang mandi di kali Cilutung. Konon
pada masa lalu, di kali Cilutung inilah di langsungkan sayembara oleh keempat
putri cantik, yang di ikuti oleh raja - raja yang ingin menjadikan putri -
putri ini sebagai istrinya
Sayembaranya berupa, barang siapa yang bisa menarik kembali sebuah 'kukuk'
(buah labu), yang dihanyutkan di sungai, maka orang itulah yang akan menjadi
suaminya. Ternyata, tak
seorang pun raja yang berhasil memenangkan sayembara tersebut. Para raja tidak
bisa mengalahkan kesaktian keempat putri itu. Karena kesaktian
keempat putri itulah,, akhirnya makam mereka dikeramatkan dan diberi nama
Marongge.
Comments
Post a Comment