Refleksi Tahun Baru Suryakala

 

Budaya Tahun Baru Sunda 1 Kasa


Kebudayaan tidak pelak merupakan sebuah kekayaan budi pekerti yang di miliki oleh manusia. Sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan, manusia merupakan pengisi alam raya, berdampingan dengan makhluk lainnya yang hidup dan berkembang di dalamnya. Keistimewaan manusia di banding makhluk lainnya, ialah memiliki budi pekerti untuk menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya.

Salah satu perwujudan dari kekayaan budi pekerti ialah peradaban, disetiap koloni manusia tingkat peradaban ini berbeda - beda. Tergantung dari situasi serta kondisi tempat manusia tersebut berkembang. Berbicara tentang peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari tinggalan budayanya. Sebagai salah satu daerah dengan peradaban tertua Indonesia memiliki tinggalan budaya cukup beragam, baik itu berupa benda maupun sistem pengetahuan.

Beberapa waktu lalu bertempat di hutan kota Babakan Biliwangi, berbagai komunitas budaya menggelar sebuah acara menyatukan batu satangtung dan batu amparan, acara di buka dengan rajah pembuka, dilanjutkan dengan lantunan karinding serta gerak serempak para pemudi memainkan angklung. Dengan di iringi angklung komunitas budaya ini membawa sesaji menuju batu satangtung serta batu amparan.

Sesampainya di Batu Satangtung para peserta upacara kemudian  "ngawinkeun batu", menghias pasangan batu dengan sesajen dan secara bersama-sama peserta upacara menyaksikan dan memberi tanda dengan kapur sirih, menyatakan bahwa kedua batu tersebut adalah pasangan simbol dari Bapa langit dan Ibu pertiwi, atau leluhur yang melahirkan kita semua yaitu  bapak - Ibu. Dasar di lakukannya upacara ini ialah adanya kesadaran bahwa semua manusia di nusantara pada dasarnya memiliki kesamaan.

Dan kesamaan itu dipertautkan oleh kesadaran kelahiran, atas berkah langit dan bumi, berkah cinta kasih antara dua sifat ayah dan ibu. Manifestasi prima kausa, dari kasih sayang Maha Pencipta. Sebuah simbol universal yang dipergunakan oleh keberagaman budaya di dunia yaitu LINGGA dan YONI  atau batu satangtung dengan batu amparan. Sepasang batu tersebut dinamakan sebagai TUGU SILIWANGI.

Upacara  ini sendiri berkaitan dengan tahun baru hitungan edaran matahari, kala sunda atau tanggal 1 KASA suryakala. Yaitu saat matahari dalam posisi paling selatan bumi, dan baru bergerak hendak menuju kembali ke utara atau jatuh pada tanggal 22 Desember Masehi.

Manifestasi dari kegiatan ini tentu saja bukan hanya sebatas ritual belaka, banyak nilai filosofis terkandung di dalamnya. Satu yang paling utama ialah mengajak semua makhluk pengisi alam raya agar senantiasa merawat serta memelihara alam. Dengan semakin kencang nya laju modernisasi, tidak bisa di pungkiri ala mini semakin renta, banyak terjadi kerusakan di sana sini yang di sebabkan oleh manusia. Banyaknya terjadi bencana alam, serta pemanasan global merupakan dampak nyata yang telah kita rasakan bersama.Uuntuk itu sebelum alam raya ini murka marilah kita kembali, menjaga merawat serta mengambil sesuatu dari alam secara bijaksana, tidak serakah sesuai dengan peruntukannya,agar anak cucu kita masih bisa merasakan kenikmatan yang sama yang pernah kita rasakan dari alam mini.

Setelah selesai ngawinkeun batu, upacara masih terus berlangsung sampai dengan keesokan harinya. Menjelang malam upacara di lanjutkan dengan pagelaran seni Tarawangsa. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India.

Setelah kemunculan rebab, Tarawangsa biasa pula disebut dengan nama Rebab Jangkung (rebab tinggi), karena ukuran Tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada Rebab. Sebagai alat musik gesek, Tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain, sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, Tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah Tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai Kecapi, yang disebut Jentreng.

Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.

Biasa nya dalam pagelaran tarawangsa banyak sekali penonton yang ikut untuk menari,sedangkan jenis Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata - mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal - hal metafisik. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance (tidak sadarkan diri).

Comments

Popular Post

Pasundan dan Tradisi Ngabungbang

Bahasa Sunda Di Era Globalisasi Modern

Endangered Species Elang Jawa